Kekosongan
Di sebuah kerajaan megah bernama Eldoria, hiduplah seorang raja yang tampak memiliki segalanya,kekayaan, kekuasaan, dan penghormatan dari rakyatnya. Namanya Raja Alaric, dikenal bijak dan adil. Istana emasnya menjulang tinggi di atas bukit, memandang luas ke ladang subur dan kota-kota makmur. Namun, di balik mahkotanya yang bersinar dan senyum yang terpahat di wajahnya, tersembunyi sesuatu yang tak pernah diketahui siapa pun: kehampaan yang tak terlukiskan.
Setiap malam, setelah para penasihat pergi dan aula menjadi sunyi, Raja Alaric duduk sendiri di singgasananya yang dingin. Pandangannya menembus jendela kaca patri yang indah, menatap bintang-bintang seolah mencari jawaban. Ia merasa... kosong. Tak ada sukacita dalam pesta, tak ada kebanggaan dalam kemenangan, dan tak ada kenyamanan dalam pujian.
"Aku punya segalanya, namun mengapa aku merasa seperti tak punya apa-apa?" bisiknya dalam hati.
Dulu, sebelum menjadi raja, Alaric adalah seorang pemuda sederhana yang suka berkelana. Ia tertawa bersama para petani, tidur di bawah bintang, dan bermimpi menjadi seseorang yang membawa perubahan. Tapi begitu mahkota itu dikenakan di kepalanya, ia mulai kehilangan dirinya sendiri. Hari-harinya kini dipenuhi dengan urusan politik, diplomasi, dan perang. Dalam keheningan malam, ia menyadari bahwa bukan kesendirian yang menghantuinya, melainkan kehilangan makna.
Suatu hari, tanpa memberi tahu siapa pun, Raja Alaric menyamar sebagai rakyat biasa. Ia tinggalkan istana dan menyusuri negeri yang dulu hanya dilihatnya dari balkon. Di sebuah desa kecil, ia bertemu seorang wanita tua penjual roti yang ramah dan seorang anak yatim piatu yang tersenyum cerah meski mengenakan pakaian lusuh.
“Bagaimana kau bisa bahagia?” tanya Alaric pada sang anak.
Anak itu menjawab, “Karena setiap hari aku masih bisa bermain, melihat matahari terbit, dan makan roti hangat dari Bibi Arwen.”
Raja Alaric terdiam. Dalam kalimat sederhana itu, ia menemukan seberkas cahaya—makna yang telah lama hilang dari hidupnya. Bukan istana, bukan mahkota, tapi hubungan, kesederhanaan, dan rasa syukur.
Ia kembali ke istana, namun tak lagi menjadi raja yang sama. Ia mulai mendekatkan diri pada rakyatnya, bukan hanya memerintah dari jauh. Ia menanam pohon bersama anak-anak, mendengarkan kisah dari para janda, dan menyanyikan lagu-lagu lama di malam festival. Sedikit demi sedikit, kehampaan itu menguap.
Raja Alaric tidak pernah benar-benar “sembuh” dari kehampaannya, tapi kini ia tahu bagaimana hidup dengannya,dengan menerima, mencari makna, dan menyadari bahwa kadang kebahagiaan bukanlah soal memiliki, melainkan soal merasakan.

Posting Komentar