Mau jadi apa?
Namanya Raka. Usianya dua puluh tiga. Lulusan sarjana sastra dari universitas yang biasa-biasa saja, dengan IPK yang tidak terlalu buruk, tapi juga tak cukup untuk dibanggakan. Ia tinggal di kamar kontrakan sempit berukuran 3x3 meter di pinggiran kota, bersama tumpukan buku, komputer tua, dan kegelisahan yang terus tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Kebingungan yang Tak Ada Jawabannya
Teman-temannya mulai melangkah. Ada yang sudah menikah. Ada yang kerja di perusahaan besar. Ada yang sibuk pamer liburan ke luar negeri. Dan Raka… masih di sini, mengandalkan kopi sachet dan mi instan untuk bertahan hidup, dengan mimpi yang bahkan ia ragukan sendiri.
Kadang, dalam keheningan, pikirannya menyusup ke ruang tergelap:
“Bagaimana kalau aku tak pernah berhasil?”“Bagaimana kalau dunia tak pernah tahu aku pernah ada?”“Bagaimana kalau aku mati—dan tidak ada yang peduli?”
Setiap hari ia membuka lowongan kerja, tapi menutupnya kembali. Ia bukan malas. Ia hanya takut. Takut kehilangan dirinya. Takut menjalani hidup yang bukan miliknya. Tapi ia juga takut gagal sebagai dirinya sendiri.
Sebuah Percakapan Aneh
Suatu malam, saat hujan turun deras, Raka berjalan tanpa tujuan, hujan mengguyur tubuhnya yang kurus. Ia berhenti di taman sepi, duduk di bangku kayu yang basah, dan tiba-tiba berkata kepada udara,
“Tuhan… kalau aku ditakdirkan gagal, kenapa Kau beri aku mimpi?”
Tiba-tiba seorang lelaki tua duduk di sebelahnya. Tak diketahui dari mana datangnya.
“Orang yang tidak punya mimpi, tidak akan pernah takut gagal,” kata lelaki itu sambil menyalakan rokok.
Raka menoleh. “Lalu apa gunanya mimpi kalau hanya bikin hidup jadi sakit?”
Orang tua itu tersenyum samar. “Gunanya? Supaya kamu tetap hidup, meski kadang kamu berharap kamu tidak.”
Hening.
“Mati tidak sesederhana itu, Nak. Kamu bisa mati tanpa dikubur, dan hidup tanpa bernyawa. Tapi selama kamu masih bisa bertanya, masih bisa menulis satu kalimat saja… kamu belum kalah.”
Ketika Raka menoleh kembali, orang tua itu sudah tidak ada.
Hari Baru, Luka Lama
Besok paginya, Raka bangun dan membuka laptop. Ia masih tidak tahu akan jadi apa. Masih bingung. Tapi kali ini, ia menulis satu kalimat:
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku akan terus berjalan.”
Hari itu ia tidak mendapatkan pencerahan besar. Tidak ada mukjizat. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak bertanya apakah ia akan sukses… atau mati. Ia hanya ingin melanjutkan.
Karena mungkin, hidup bukan tentang memilih antara terang atau gelap. Tapi tentang menyalakan lilin kecil… cukup untuk menuntun satu langkah ke depan.
.jpg)
Posting Komentar