Sebuah karangan belaka
Di sudut kota kecil bernama Nirwana, yang sejuk oleh angin pegunungan dan wangi kopi dari kedai tua di tiap tikungannya, tinggal seorang pemuda pendiam bernama Kiko. Ia bukan siapa-siapa—sekadar penjaga perpustakaan di sebuah SMA negeri yang bangunannya sudah usang. Tapi di balik kacamata tebal dan jaket lusuhnya, tersembunyi hati yang menyimpan cinta begitu lama… untuk seseorang yang mungkin tak akan pernah tahu.
Namanya Deb, gadis ceria yang pernah satu sekolah dengan Kiko. Dia seperti musim semi yang menari di antara musim hujan—selalu membawa warna di setiap langkahnya. Sejak pertemuan pertama mereka di ruang UKS, saat Kiko yang pemalu membawakan air hangat untuk Deb yang pingsan karena lelah latihan paduan suara, perasaan itu tumbuh. Tanpa permisi.
Kiko menatap Deb dari kejauhan di lorong sekolah. Ia tak pernah cukup berani menyapa lebih dari sekadar anggukan singkat. Tapi setiap malam, ia menulis puisi untuknya. Tentang matanya, senyumnya, bahkan caranya tertawa saat bercanda dengan teman-teman.
Deb menjadi semakin populer. Ia masuk OSIS, sering tampil di pentas seni, dan mulai dekat dengan salah satu kakak kelas. Kiko menyaksikan semuanya dalam diam. Saat orang lain melihat kisah cinta remaja yang manis, Kiko menyimpan rasa cemburu yang bahkan tak layak ia ungkapkan. Siapa dia, dibanding pria-pria yang mengejar Deb?
Sekolah usai. Deb kuliah di luar kota. Kiko, karena keterbatasan biaya, tetap tinggal dan bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Namun, ia mengikuti setiap langkah Deb melalui media sosial. Setiap unggahan Deb ia baca berulang-ulang. Ia tahu ia hanya penonton… tapi hatinya tak pernah berhenti menyebut satu nama.
“Kalau suatu hari kau tahu, Deb… mungkin kau akan tertawa.”
Kiko menulis surat. Satu setiap minggu. Surat yang tak pernah ia kirim. Ia simpan dalam kotak kayu kecil, dengan tanggal di sudut kanan. Di surat-surat itu, ia menceritakan harinya, tentang pohon ketapang yang tumbang di sekolah, tentang anak-anak yang membaca diam-diam di pojok rak, tentang bagaimana ia masih merindukan suara Deb meski sudah lama tak mendengarnya.
Hingga suatu malam, ia menulis:
"Aku tahu, mungkin kamu bahagia sekarang. Dan itu sudah cukup bagiku. Tapi jika semesta memberi satu momen saja, satu momen di mana kamu mendengar hatiku, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Bukan hari ini. Tapi sejak tujuh tahun yang lalu."
Deb kembali ke kota. Ia menjadi guru magang di sekolah tempat Kiko bekerja. Dunia seolah berputar penuh. Ketika mereka berpapasan pertama kali, Deb berkata sambil tersenyum, “Kiko? Kamu masih di sini?”
Kiko hanya mengangguk. Jantungnya tak lagi berdetak—ia yakin, saat itu detaknya berhenti karena nama itu kembali memanggilnya. Ia ingin mengatakan segalanya. Tapi kata-kata itu hanya sampai di tenggorokan.
Ia memilih diam. Karena cinta dalam diam… tak pernah menuntut dimiliki.
Suatu pagi, Deb masuk ke perpustakaan. Ia menemukan tumpukan kertas di meja kayu—kertas tua berisi puisi. Tanpa nama, tapi terlalu jujur untuk ditulis oleh orang asing. Ia membaca satu persatu, hingga tiba pada surat bertanggal 12 Mei—hari ulang tahunnya.
“Hari ini, kamu bertambah umur. Dan aku masih di sini, mencintaimu dari jauh. Kamu mungkin tak akan pernah tahu. Tapi doaku akan selalu menemukanmu lebih dulu dari kata-kataku.”
Deb terdiam. Ia menatap Kiko yang tengah membersihkan rak, dengan tangan gemetar. Ia mendekat. “Semua puisi ini… kamu yang tulis?”
Kiko hanya tersenyum kecil, matanya merunduk. “Maaf… aku tidak pernah cukup berani.”
Deb menatapnya lama. “Tapi kamu mencintai dengan sangat… sangat indah.”
Mereka tidak berakhir seperti kisah cinta yang meledak dengan pelukan atau ciuman hujan. Tapi hari itu, Deb duduk di sebelah Kiko. Mereka diam… tapi penuh arti. Dan untuk pertama kalinya, cinta yang tersembunyi itu, diberi cahaya—meski tak harus bersatu, setidaknya tak lagi sendiri.
Akhir cerita? Mungkin iya. Atau mungkin… cinta yang diam itu baru saja mulai berbicara.
Setelah hari di mana Deb membaca semua surat dan puisi itu, dunia terasa berbeda bagi Kiko. Ada kelegaan, tapi juga ketakutan. Setidaknya, kini Deb tahu. Tapi Kiko juga tahu… cinta yang telah dijaga selama tujuh tahun tak bisa begitu saja mengubah takdir.
Hari-hari berikutnya mereka sering berbincang. Tentang buku, tentang masa sekolah, tentang kehidupan yang pernah berjarak dan kini bersilangan kembali. Tapi tak pernah, tidak pernah sekalipun Deb menyebut perasaannya.
Dan Kiko… tetap diam. Ia tak menuntut. Ia sudah terlalu lama hidup bersama kesunyian cintanya, hingga kini ketika cintanya terlihat, ia tak tahu harus bagaimana.
Hingga suatu senja, di perpustakaan yang mulai redup oleh cahaya jingga, Deb berkata,
“Aku akan menikah, Kiko. Bulan depan.”
Dunia runtuh pelan. Tak ada dentuman. Tak ada air mata. Hanya dada yang terasa kosong, dan suara detik jam yang menggelegar seperti palu vonis.
Kiko tersenyum. Senyum yang pahit. Senyum yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah ia genggam.
“Aku senang… kamu bahagia,” katanya pelan.
Deb menatap Kiko, ada luka dalam sorot matanya. “Kalau aku tahu lebih awal… mungkin ceritanya akan lain.”
“Tapi kamu tidak tahu,” jawab Kiko. “Dan itu salahku.”
Mereka tidak saling menyalahkan. Karena cinta mereka bukan tentang siapa yang lebih berjuang atau siapa yang lebih diam. Tapi tentang waktu… dan keberanian yang datang terlambat.
Kiko masih di perpustakaan. Kini ia menulis bukan hanya puisi, tapi buku. Buku tentang cinta yang disimpan, tentang seorang wanita bernama Deb, tentang diam yang penuh rasa. Ia tak pernah menikah. Bukan karena tak bisa, tapi karena hatinya sudah penuh… oleh satu nama yang tak bisa diganti.
Deb kadang datang, membawa anaknya. Mereka bercakap seperti dua sahabat lama. Ada tawa, ada nostalgia, tapi tidak ada lagi harapan cinta. Karena beberapa cinta… hanya bisa hidup dalam kenangan.
Dan bagi Kiko, itu sudah cukup.
Tidak semua cinta harus memiliki akhir yang bahagia.
Beberapa cinta hanya ditakdirkan untuk tumbuh diam-diam, mekar di dalam dada, dan gugur tanpa pernah menyentuh tanah.
Tapi itu tidak membuat cinta itu lebih kecil.
Justru dari diam itulah, cinta Kiko menjadi abadi.
.jpg)
Posting Komentar