Tak berpindah
Di sebuah sudut jalan kecil di tengah kota Jakarta, duduk seorang lelaki muda bernama Arka. Rambutnya sedikit acak-acakan, jaket jeans lusuh membalut tubuhnya yang mulai kurus. Di sampingnya tergeletak ransel butut dan sebuah papan karton bertuliskan:
"Aku menunggumu di sini, seperti yang kujanjikan."
Warga sekitar mulai terbiasa melihatnya di sana. Pagi, siang, hingga malam. Beberapa menyapanya, sebagian lagi hanya mengangguk pelan, menganggapnya bagian dari lanskap kota seperti bangku taman atau tiang lampu. Ada juga yang memotretnya diam-diam, mengunggahnya ke media sosial dengan caption simpati atau tanya: "Siapa yang sedang dia tunggu?"
Arka bukan orang gila. Ia seorang arsitek muda yang dulu memiliki masa depan cerah. Tapi hidup berubah arah sejak hari itu—hari saat Citra pergi.
Mereka bertemu empat tahun lalu, di tempat yang sama. Citra adalah gadis yang percaya pada kebetulan. Ia percaya semesta selalu punya cara untuk mempertemukan dua hati, dan Arka—yang awalnya skeptis—mulai percaya juga.
Suatu malam di awal hubungan mereka, saat hujan turun, Citra berkata sambil memeluk tubuhnya yang menggigil, “Kalau suatu hari kita kehilangan arah, kalau semua jadi kacau, janji ya… temui aku di tempat pertama kita bertemu. Aku akan ke sana juga.”
Arka hanya tertawa waktu itu. “Kayak di film-film ya.”
“Tapi aku serius,” ucap Citra.
Mereka tertawa bersama. Tapi janji itu tertanam diam-diam di ingatan Arka.
Tiga Tahun Kemudian
Semua tampak baik-baik saja—sampai tidak. Suatu pagi, Citra menghilang. Pesannya hanya satu baris:
“Maaf, aku harus pergi.”
Tak ada penjelasan. Nomornya tidak aktif. Media sosialnya lenyap. Teman-temannya tidak tahu, atau mungkin pura-pura tak tahu. Arka mencarinya ke mana-mana. Ke kampusnya dulu, ke rumah ibunya di Bogor, bahkan ke Bali, tempat yang pernah mereka kunjungi bersama. Semua nihil.
Dan akhirnya ia menyerah pada satu hal: janji itu.
Arka berhenti bekerja. Ia menjual sebagian besar barangnya, menyewa kos kecil tak jauh dari sudut jalan itu. Setiap hari, ia duduk dan menunggu. Di bangku kayu yang sudah mulai lapuk.
Dia percaya: “Kalau dia mencariku, dia pasti akan ingat. Dia pasti akan datang ke sini.”
Hari-Hari yang Panjang
Musim berganti. Jakarta tak pernah berhenti berisik. Tapi Arka tetap duduk. Ia menulis catatan kecil setiap malam di buku sketsanya: tentang orang-orang yang menyapanya, tentang harapan yang pelan-pelan menipis, dan tentang mimpi yang tetap ia genggam erat.
Beberapa wartawan lokal menulis kisahnya. Salah satu video tentangnya viral—judulnya "Lelaki yang Menunggu di Tengah Kota." Komentar mengalir deras: ada yang menyebutnya romantis, ada yang menyebutnya bodoh.
Tapi Arka tak peduli.
"Kenapa kamu nggak cari dia ke tempat lain?" tanya seorang perempuan paruh baya, pedagang bunga di dekat situ.
"Karena kalau dia pun sedang mencariku… dia pasti ke sini. Bukan ke tempat lain," jawab Arka.
Dan setiap hari, dia menatap trotoar itu, berharap ada sepasang kaki kecil yang berlari ke arahnya, dengan suara yang ia rindukan berkata: “Aku kembali.”
Pertemuan
Hari itu, langit Jakarta berwarna jingga keemasan. Arka hampir tertidur di bangku, tubuhnya makin lelah. Tapi ketika ia membuka matanya, seorang wanita berdiri beberapa meter darinya.
Rambutnya lebih panjang, wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya… mata itu sama.
Citra.
Mereka saling menatap dalam diam. Lalu Citra melangkah pelan, setiap langkahnya seperti membongkar dinding yang telah lama ia bangun.
“Aku pikir… kamu nggak akan benar-benar menunggu,” katanya lirih.
Arka berdiri. Matanya berkaca-kaca. “Aku hampir pergi. Tapi aku tahu… kalau kamu mencintaiku, kamu pasti akan datang ke sini.”
Citra menunduk, menyeka air matanya. “Maaf, Arka. Aku harus pergi dulu, menyembuhkan luka yang bahkan aku sendiri nggak paham. Tapi aku nggak pernah lupa janji kita.”
Arka tersenyum. “Aku pun nggak ke mana-mana.”
Citra tertawa kecil, getir. “Gila kamu, ya.”
“Mungkin.”
Lalu mereka berpelukan. Di tengah keramaian kota, dua orang yang sempat hilang arah akhirnya kembali bertemu—bukan karena kebetulan, tapi karena mereka tak pernah benar-benar berhenti mencari.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arka berdiri… dan berjalan menjauh dari tempat itu, tidak lagi sendirian.
.jpg)
Posting Komentar